BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Hukum
mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia
(seluruh manusia tanpa terkecuali. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran
hukum dalam prakteknya. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi
kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Krisis
multi dimensi yang melanda bangsa Indonesia saat ini, perlu segera diatasi
melalui reformasi di segala bidang sehingga memungkinkan bangsa Indonesia
bangkit kembali dan memperkukuh kepercayaan diri atas kemampuannya, termasuk
dalam bidang hukum. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam
hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku;
fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum.
Menurut
Sudikno Mertokusumo (1996:140), penegakan dan pelaksanaan hukum sering
merupakan penemuan hukum (rechtsvinding) dan tidak sekedar penerapan hukum.
Penemuan hukum merupakan kewajiban bagi hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal
28 ayat (1) jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
Pasal
28 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam rangka
penemuan hukum ini, jika isi ketentuan Pasal 28 ayat (1) dihubungkan dengan
Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya".
Maka,
dapat disimpulkan bahwa penemuan hukum oleh hakim dilakukan apabila hukum tidak
atau kurang jelas mengatur tentang perkara yang diperiksa oleh hakim, tetapi
juga dapat dilakukan apabila hukum telah jelas mengatur, hal ini disebabkan
karena hukum harus senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat.tikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Indonesia
dalam sistem-sistem hukum di dunia termasuk kedalam sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law) yang sering diperlawankan dengan sistem hukum common
law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak
diterapkan di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa
hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law)
dan sistem hukum komunis (Communist Law).
Indonesia
menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), akibat penjajahan yang dilakukan
oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste
rechtspolitiek dan adanya asas konkordansi (concordantie beginsel), yaitu bahwa
negeri jajahan hanya boleh berhukum dengan cara-cara yang sesuai dengan negeri
penjajah atau apa yang dilakukan di negeri jajahan itu harus sama dengan yang
dilakukan di negeri penjajah, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum
tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II yang menyatakan :
“segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”
Oleh
karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan
aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut
sistem civil law.
Salah
satu karakteristik utama dari Eropa Kontinental (civil law) ialah penggunaan
aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber
hukumnya..Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan
hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi
sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang
kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu
putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.
Namun,
adanya berbagai sistem hukum tersebut sampai saat ini dirasakan bahwa hukum
yang ada belum merupakan satu kesatuan sistem yang terpadu dan konsisten,
melainkan terdiri dari beberapa tatanan hukum yang terpecah-pecah dan saling
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi berbagai sistem hukum itu
tidak dapat dibuang begitu saja, karena hampir setiap yang ada terdapat dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memunculkan kemajemukan sistem
hukum.
Pengunaan
aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala
tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat
dengan perkembangan masyarakat.Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa
hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru
masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut
dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi
dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan
hukum yang mengaturnya.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
1. Apakah
pengertian tentang penemuan hukum?
2. Bagaimana
peranan hakim dalam melakukan penemuan hukum dalam sistem hukum di Indonesia?
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Tentang Penemuan Hukum
Penemuan
hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal
dan merupakan sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang
dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau
sengketa-sengketa hukum. Terkait padanya antara lain diajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan
hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang
terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal
menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan
kaidah-kaidah hukum.
Problematik
yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan
sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada
peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif.
Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di
samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum.
Penemuan
hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi
dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat
peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum
adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan.
Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari
kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication
function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making
function).
Penemuan
hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang
hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak.
Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum.
Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat
keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta
yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum
positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses
analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan.
Dalam
situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam
menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan
hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan
seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan
pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan
keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan
dua tugas atau fungsi utama, yaitu :
1.
Ia
senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit
(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,
dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku,
cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri.
Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur
semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat
untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
2.
Seorang
ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau
melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya
pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan
didalam masyarakat.
Kegunaan
dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat
digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak
langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara
itu, kenyataan menunjukkan bahwa :
1.
Adakalanya
pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah
atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi
lebih dari satu pengertian atau pemaknaan.
2.
Adakalanya
istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan
lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam
masyarakat.
3.
Adakalanya
terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur
masalah tersebut.
Istilah
“penemuan hukum” oleh beberapa pakar sering dipermasalahkan, bahwa apakah tidak
lebih tepat istilah “pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum”
atau “penciptaan hukum”. Istilah “pelaksanaan hukum” dapat berarti menjalankan
hukum tanpa sengketa atau pelanggaran. Namun disamping itu pelaksanaan hukum
dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan
hal ini sekaligus pula merupakan penegakan hukum. Adapun istilah “penerapan
hukum” tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya
pada peristiwanya. Dan istilah “pembentukan hukum” adalah merumuskan
peraturan-peraturan yang berlaku umum, bagi setiap orang.
Sedangkan
istilah “penciptaan hukum” terasa kurang tepat karena memberikan kesan bahwa
hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi
ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi
dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah
terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka
kiranya istilah “penemuan hukum”lah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.
Penemuan
hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara,
penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukum juga
dapat mengadakan penemuan hukum, namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan
tersebut bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun
yang dihasilkan tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan
istilah penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut apabila diikuti atau
diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu or
doktrin) menjadi hukum.
Penemuan
hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum kongkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu
proses kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.
Sumber
penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber atau tempat, terutama
bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber utama penemuan hukum menurut
Sudikno Mertokusumo, adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum
kebiasaan (‘urf), yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi
menurutnya terdapat tingkatan-tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam sumber
hukum.
Dalam
ajaran penemuan hukum “undang-undang” diprioritaskan atau didahulukan dari
sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti dari sebuah
kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-undang, karena undang-undang
bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum.
Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, namun senantiasa
perlu pula diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik. Apabila
dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuannya atau jawabannya,
maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan (yang tidak tertulis).
Dan
kalau hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, maka dicarilah dalam
“yurisprudensi”, yang berarti setiap putusan hakim, dapat pula berarti kumpulan
putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama
sampai pada tingkat kasasi. Dan kadang pula yurisprudensi diartikan pandangan
atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.
Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum
Dalam sistem hukum di Indonesia
Hakim sebagai
sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada dasarnya memiliki dua
tindakan/peran:
1.
Untuk membuktikan keberadaan suatu fakta yang
dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang
harus diterapkan kepada kasus tertentu.
2.
Hakim
menjatuhkan suatu sanksi perdata atau pidana yang konkret yang ditetapkan
secara umum dalam norma yang harus diterapkan.
Dari kedua peran
tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan penerap dari norma hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian diikuti dengan menerapkan
sanksi demi tegaknya peraturan perundang-undangan tersebut.
Pada kesejarahannya
menurut van apeldoorn peranan hakim dapat dibagi kedalam 3 masa yang terdiri
dari masa abad ke-19 (legisme), pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran
menemukan hukum dengan bebas dan pada masa ini. Peranan hakim pada masa-masa
legalisme (abad ke 19) mencapai puncak kejayaannya hanya difungsikan sebagai
terompet undang-undang/corong undang-undang. Hakim pada konteks ini diposisikan
untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan asas logikal,
tanpa memperhatikan aspek-aspek lain diluar logika dan aturan hukum tersebut.
Pada masa
legisme ini hakim tidak mempersoalkan motif, seperti apakah seseorang melakukan
suatu tindakan pencurian dengan alasan karena lapar atau karena alasan-alasan
lainnya. Sehingga pada masa ini, hakim memiliki tugas sebagai
subsumptie-automaat karena tugasnya semata-mata terdiri atas melakukan
pencocokan (subsumptie) kedalam peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk
hal tersebut.
Peranan hakim
pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum dengan bebas,
merupakan penolakan terhadap pandangan legisme yang berkembang pada abad ke-19.
Ajaran hukum bebas ini, menyatakan tidak semua hukum terdapat di dalam
undang-undang, bahwa disamping undang-undang terdapat sumber-sumber yang
lainnya, dimana hakim dapat mengambil hukum tersebut (hukum bebas) sebagai
dasar bagi putusan.Mengenai dari manakah asal hukum bebas tersebut berasal, ajaran
ini terbagi menjadi dua :
1.
Aliran
hukum sosiologis
yakni aliran hukum sosiologis digawangi
oleh Hamaker yang menyatakan hukum bebas tersebut berasal dari adat istiadat,
kebiasaan dalam masyarakat yang sifatnya lebih empirik.
2.
Aliran
hukum kodrat
menunjuk kepada hal-hal yang sifatnya
kontemplatif di dalam ruang-ruang perenungan penuh ide.
Namun
demikian, aliran-aliran yang datang berikutnya semakin radikal untuk meniadakan
undang-undang sebagai sumber satu-satunya yang memandang bahwa hakim dalam
memutus tidak hanya mengangap bahwa hukum bebas sebagai suplemen untuk menutupi
kekosongan hukum. Hukum bebas ini dapat mengecualikan peraturan
perundang-undangan tertulis dan mengadakan koreksi apabila dianggap telah
bertentangan dengan hukum. Para pendukung aliran baru ini, memberikan hakim
peran sebagai apa yang disebut dalam hukum romawi sebagai rechter-konigschap,
namun demikian pandangan ini dianggap justru akan menghilangkan kepastian hukum
sehingga banyak terjadi penolakan terhadap paham ini.
Pada masa ini,
peranan hakim adalah :
1.
Lebih
dititik beratkan untuk melakukan penafsiran terhadap aturan-aturan hukum yang
sudah ada, namun dengan tidak hanya menggunakan aktivitas logika semata.
2.
Hakim
memiliki tugas untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, dimana hakim dalam
melakukan penafsiran hukumnya tidak terlepas dari aturan hukum
3.
Tidak
melakukan pembentukan hukum dalam arti dia mengadakan suatu aturan hukum yang
tidak ada menjadi ada
4.
Hakim
memutus berdasarkan perasaan hukum dengan memperhatika kebiasaan dan
pendangan-pandangan yang berlaku di dalam masyarakat dan menyesuaikan hukum
yang konkret pada tuntutan hal-hal yang khusus.
Indonesia di
dalam sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law), seperti yang telah dipaparkan pada pendahuluan. Sistem
Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai
sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental ini. Pemikiran kodifikasi ini
dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke 18–19. Untuk melindungi masyarakat dari
tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum
harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Lebih lanjut pemikiran ini
menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen). Umum baik
mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus
lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah
dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan
undang-undang (secara mekanis).
Makin besarnya
peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya
ialah :
1.
Peraturan
perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis,
bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya.
2.
Peraturan
perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali.
3.
Struktur
dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan
untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi
muatannya. Dan
4.
Pembentukan
dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini
sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun
sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Tetapi
tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung
masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :
1.
Peraturan
perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan
perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan
perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu
masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi
semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam
keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan
kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri
akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah
ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat
dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan
masyarakat.
2.
Peraturan
perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum
atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum
atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan
perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi
societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap
masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila
“hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.
Kelemahan-kelemahan
dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep
penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang
menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan penemuan
hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa
yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari
positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu
kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu
kepada suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas
secara hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan
kebebasan pribadinya”.
Berkebalikan
dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat mungkin terjadi dan akan
menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dimana hukum tidak
dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan
persoalan yang ada di masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi
dari kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul
di dalam masyarakat.
Melihat
dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini
adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun
konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan
fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian
dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di
dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan
sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan
hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan
yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu
tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh
karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi
antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok
dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh
hukum.
Pada
konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum
adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber
hukum satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan
hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka
mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan
penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal
ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum
(rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1),
dinyatakan sebagai berikut :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Pada
Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas
terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar
ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan
hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1)
undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, oleh Prof.
Mochtar Kusumaatmadja disebut juga dengan asas non-liquiet yang merupakan
cerminan dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda. Asas ini
kemudian mendasari/memberikan peluang bagi hakim, untuk menafsirkan dan
menerapkan konsep penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Namun demikian,
persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum
memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law)
seperti di dalam hukum common law.
Pengertian
judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim
memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkret. Sehingga hukum di dalam pengertian ini
benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum
maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan
hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu
perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan
ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan
demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam
konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemuan hukum
didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang
pada ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum
bebas tersebut dapat ditemukan yaitu:
1.
Ajaran
pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan
dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya
ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi.
2.
Ajaran
kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang
sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab
suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas,
oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat.
3.
Dan
ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak
hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih
dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi
dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan membentuk
norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.
Pada
konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28
ayat (1) dan (2) undang-undang nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai
berikut :
1.
Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.
2.
Dalam
menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang
baik dan jahat dari terdakwa.
Salah
satu contoh penemuan hukum yang menjadi presedent di dalam hukum Indonesia,
misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga
Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di
dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian
pada zaman kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan
ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau
mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian,
yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921,
564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan
status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh
Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973
dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.31
Penemuan
hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran,
yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu
menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi
faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke
dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis,
dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras
bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena
kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri
dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum
adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam
konteks ini.
Keseluruhan
operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk
mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk
memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara
sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan
dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan,
sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses
berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang
terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
Di
dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti
beberapa prinsip di bawah ini :
1.
Prinsip
objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari
aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat
sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2.
Prinsip
kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah.
Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari
bagiannya.
3.
Prinsip
penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks
asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata
bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama
dari pembuat hukum tersebut. Dan
4.
Prinsip
perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum
dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai
berikut :
1. Penemuan
hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental termasuk Indonesia, memiliki
kedudukan yang diakui. Walaupun, sendi utama dari sistem hukum ini adalah
peraturan perundang-undangan, namun penekanan yang berlebihan terhadap
peraturan perundang-undangan dalam rangka memutus suatu perkara dapat
menciptakan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dikarenakan tidak
semua peraturan perundang-undangan yang tertulis dapat menjawab tantangan jaman
yang akan menyebabkan kekosongan hukum, hal ini dilakukan dengan cara membangun
sebuah konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi Analogi, Penghalusan Hukum
dan Argumentum a Contrario.Penemuan hukum dilakukan untuk menutupi kekurangan
dari suatu peraturan perundang-undangan dan untuk mencegah kekosongan hukum.
Tugas untuk melakukan penemuan hukum, merupakan tugas yang diemban oleh hakim
di dalam melakukan memutus perkara konkret. Hakim di dalam melakukan penafsiran
terikat oleh teks dan tidak dapat menciptakan hukum baru, hakim hanya menggali
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat sebagaimana ajaran
penemuan hukum bebas (vrije rechtsvinding) aliran sosiologisnya Hamaker.
2. Penemuan
hukum memiliki 4 prinsip, yakni prinsip objektif, kesatuan, penafsiran genetis
dan prinsip perbandingan. Sehingga dalam melakukan penafsiran tidak hanya
melakukan dengan menggunakan logika semata.
Di
dalam sistem hukum Indonesia, penemuan hukum memiliki dasar yuridisnya yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,
terutama di dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) sebagai dasar hakim dapat melakukan
penemuan hukum dan Pasal 28 ayat (1) dan (2) sebagai dasar hakim dalam
menemukan hukum adalah memperhatikan aspek-aspek nilai-nilai dan keadilan di
dalam masyarakat.
Saran
Adapun saran yang diberikan adalah
:
1. Bahwa
tugas seorang hakim hendaknya tidak melulu menjadi terompet undang-undang.
Namun lebih dari itu, dia juga diwajibkan menggali nilai-nilai sosial dan rasa
keadilan masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut bukan merupakan suatu hal
yang mudah, diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi dan rasa yang peka
untuk mengkonstruksi hukum sekaligus menangkap rasa keadilan masyarakat.
2. Pembinaan
hakim hendaknya diarahkan di dalam semangat dari gagasan sebagaimana di maksud
di dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) dan Pasal 28 ayat (1) dan (2) undang-undang
nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhiwisastra,
Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000.
Arief,
Sidharata, Bernard, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitiantentang
fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu Hukum sebagai landasan
pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia, mandar maju, Bandung, 2000.
Apeldoorn, Van,
L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1968.
Hikmahanto,
Kumpulan Artikel Tentang Teori Hukum, Program Doktor FakultasHukum Universitas
Indonesia, 2001.
Hamidi, Jazim,
Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, UII
Pres, Yogyakata, 2004.
Kelsen, Hans,
Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum
Empirik-Deskriptif, Rimdipress, Bandung, 1995.
Madjid, Abdul,
Legal Reasoning, dalam kuliah Penalaran Hukum di Magister
Kenotariatan
Universitas Brawijaya Malang, 2008.
Manan, Bagir,
Dasar-Dasar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, In-Hill.Co, Jakarta,1992.
Mertokusumo,
Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,2007.
Meuwissen,
Tentang Pengembangan hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,
diterjamahkan oleh B. Arief Sidharta, Refika Aditama, 2008.
Rahardjo,
Satjipto, Membedah Hukum Progresif, KOMPAS, 2007.
…………………., Hukum
Indonesia-Bersatu, KOMPAS, 04 Januari 2008.
Scholten, Paul,
De Structuur Der Rechtswetenschap, di alih bahasakan oleh B. Arief Sidharta,
Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005.
Meuwissen, Tentang Pengembangan hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,
diterjamahkan oleh B. Arief Sidharta, Refika Aditama, 2008. Hal 11.