1.
Bagaimana pandangan sauadara tentang kasus prita
mulyasari yang didakwa dengan pencemaran
nama baik padahal kalau menurut hemat
saya apa yang dilakukan prita adalah bentuk kemerdekaan dan kebebasan sebagai warga negara untuk mengungkapkan apa
yang menjadi keyakinannya?
Jawaban
·
Pencemaran nama baik dalam KUHP diistilahkan
sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara
umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1)
dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
·
Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan
pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana atau KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi
jurnalistik. Aturan itu, dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi dan
menyampaikan pendapat di masyarakat, terlebih lagi dianggap dapat menghambat kerja
khususnya bagi wartawan dalam menyampaikan informasi kepada publik.
·
Sementara dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dalam pasal yang
sama, kontitusi negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyebarluaskan
dan memperoleh informasi serta berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang
tersedia.
·
Jadi, penerapan aturan pasal tentang pencemaran
nama baik itu dinilai bertentangan dengan konstitusi negara. Sampai kini belum
ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran
nama baik.
2.
Bagaimana anda menyikapi kasus ini dipandang
dari segi hak asasi manusia?
Jawaban
·
Bahwa hak dan kebebasan terdakwa Prita Mulyasari
tersebut, diduga atau didakwa bertentangan dengan hak orang lain, yakni dr
Hengky Gosal dan dr Grace Hilza Yarlen Nela. Hak dan kebebasan dua dokter itu
juga diatur dalam Pasal 28 G Ayat (1) perubahan UUD 45. Pasal tersebut berbunyi:“Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.”
·
Sebagai tambahan, penangkapan Prita Mulyasari,
terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang ITE,
juga ikut mencabut hak kedua anak Prita yang masih berusia balita. Yang mana
penangkapan terhadap Prita Mulyasari menentang hak tumbuh kembang anak-anaknya.
Hal ini selaras pernyataan Tini Hadad, Sekretaris Jenderal Yayasan Kesehatan
Perempuan, seusai konferensi pers mengenai kasus Prita di Jakarta:“Setiap anak
berhak mendapat susu selama dua tahun. Ketika Bu Prita ditahan, hak
anak-anaknya tercabut dengan paksa.”
·
Tindakan sewenang-wenang tersebut telah
melanggar hak tumbuh kembang anak, padahal hal tersebut telah diakomodasi dalam
sistem hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan. Misalnya
ratifikasi dan perundangan Konvensi Hak Anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun
1990, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dan beberapa peraturan lain.
·
Namun, hak Ibu Prita sebagai pasien rumah sakit
juga tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Hak Prita sebagai pasien di Rumah
Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, dari lembaga
tersebut sesuai Undang-ndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.Dalam Pasal 66 UU tersebut dinyatakan, setiap orang yang mengetahui
atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
MKDKI. Sayangnya, menurut ketua MKDKI, proses penanganan tersebut dapat
berlangsung.
·
Dalam kata lain, hal itu merupakan ilustrasi
MKDI dalam melindungi kehormatannya sendiri dan gengsi dunia medis yang
seolah-olah bersifat exclusive dan untouchable. Selain itu, selama pasal-pasal
dalam undang-undang masih tidak jelas, simpang siur, lentur seperti karet, maka
selamanya pihak yang lemah selalu dirugikan karena ditindas oleh korporat yang
lebih kuat. Dengan demikian, seakan-akan hak asasi tiap-tiap warganegara
Indonesia belum selamanya mampu ditegakkan, karena hak asasi di Indonesia hanya
mendapatkan pengakuan secara konstitusi dan otentik tanpa ada perlindungan yang
kompeten dan adil yang memihak pada yang benar.
·
Begitulah cermin hukum di Indonesia: tidak
transparan, tidak ada supremasi hukum, tidak menerapkan nilai-nilai perlindungan
hak asasi manusia, melainkan memihak yang kuat dengan menyingkirkan yang lemah.
3.
Kesimpulan yang dapat ditaarik dari kasus prita
adalah:
Kebebasan berpendapat dalam UUD 1945 pasal
28 secara kontekstual memang menjamin kebebasan berpendapat, akan tetapi
kedudukannya tidak cukup kuat untuk melindungi hak-hak ibu Prita ketika
mengungkapkan komplain dan keluhan terhadap pelayanan medis RS Omni
Internasional di Tangerang. Di sisi lain, pasal tertentu dalam UUD 1945 juga
menjamin hak-hak individu di dalamnya—staf dokter di rumah sakit bersangkutan.
Hal ini karena pasal-pasal dalam UUD 1945 diinterpretasi pada tiap individu
yang berbeda menjadi saling bertentangan dan tidak relevan. Beragam perspektif
yang terjadi seputar sidang kasus Ibu Prita Mulyasari versus RS Omni
Internasional membentuk public opinion yang variatif, beberapa secara penuh
mendukung ibu Prita bebas dari segala tuduhan dan menyalahkan sikap agresif RS
Omni Internasional, dan sebaliknya.
Saran :
ndonesia merupakan negara hukum beserta hukum
yang tersusun atas bermacam undang-undang yang mengatur hubungan warganegara
dan negara. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis, dengan demikian
adalah perlindungan terhadap kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia
menjadi prioritas prinsip utama negara hukum yang demokratis. Kasus Ibu Prita
Mulyasari vs RS Omni Internasional menjadi bukti nyata adanya cacat hukum di
Indonesia. Hukum Indonesia menjadi cacat karena kasus Ibu Prita Mulyasari
menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak lagi transparan, tidak ada supremasi
hukum, dan tidak mengandung nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28. Hukum
Indonesia secara transparan memihak yang kuat, tidak ada kedudukan yang sama di
dalam hukum. Terbukti dengan vonis bersalah terhadap Ibu Prita Mulyasari yang
notabene powerless. Mungkin, akan lain ceritanya jika yang menuliskan keluhan
pelayanan medis sekaligus mantan pasien RS Omni Internasional bukan Ibu Prita
Mulyasari, melainkan Jusuf Kalla atau putri Barrack Husein Obama. Jika
demikian, sudah jelas RS Omni Internasional bakal ditutup dengan konsekuensi
nama baik dunia kedokteran Indonesia tercoret dan jauh dari excellent with
morality.
4.
excellent with morality
adalah
Moral dan etika adalah dua hal yang tidak
terpisahkan karena pada dasarnya moral adalah tingkah laku yang telah diatur
atau ditentukan oleh etika. Moral sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu moral
baik dan moral jahat. Moral baik ialah segala tingkah laku yang dikenal pasti
oleh etika sebagai baik, begitu juga sebaliknya dengan moral yang jahat. Moral
adalah faktor motivasi yang berhubungan dengan produktivitas dan produk atau
hasil kualitas pelayanan.
Moral adalah
·
nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial
dan mengatur tingkah laku seseorang
·
Moral berkenaan dengan norma - norma umum,
mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang
·
suatu tendensi rohani untuk melakukan
seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat
·
tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk
menentukan baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai
anggota masyarakat atau sebagai orang dengan jabatan tertentu atau profesi
tertentu
·
suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran -
ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau
lingkungan tertentu
·
pernyataan pikiran yang berhubungan dengan
semangat atau keantusiasan seseorang dalam bekerja
5.
Prita menuangkan isi hatinya mengenai Rumah
Sakit Omni Medical Center, khususnya pada ketidak puasannya mengenai pelayanan
rumah sakit tersebut. Email tersebut tersebar luas ternyata di kalangan umum,
padahal Prita sebelumnya hanya mengirim pada kerabat saja. OMC yang mengetahui
hal ini menuntut Prita atas pencemaran nama baik, tanpa menyelidiki terlebih
dahulu kondisi internal rumah sakit, pihak pengacara OMC menuntut Prita dengan
tuntutan berlapis, pihak pengadilan pun memenangkan OMC, terlihat seperti Prita
didiskriminasikan dari haknya untuk vokal bersuara bebas. UUD 1945 mengenai
berpendapat secara lisan maupun tulisan tidak dianggap sama sekali oleh
petinggi-petinggi perusahaan yang mendirikan rumah sakit untuk mencari laba,
dan petinggi-petinggi pengadilan negara yang takut untuk vokal membela yang
benar, bukan yang mempunyai uang.
Jawaban
·
Yang dibutuhkan dalam kasus ini adalah Hati
Nurani dari pihak Rumah Sakit OMC. Apakah mereka tega melihat penderitaan dari
anak-anak Ibu Prita yang saat ini masih benar-benar membutuhkan perhatian dari
ayah dan ibunya. Jika mereka masih ngotot untuk meneruskan perkara ini, berarti
mereka siap untuk bertanggung jawab dengan penderitaan ke dua putri Ibu
Prita.Kenapa pihak Rumah Sakit OMC tidak memberikan surat teguran dulu sebelum
membuat hal ini menjadi besar seperti sekarang?Itu akan jauh lebih baik bagi semua.
·
seharusnya Pihak Rumah sakit OMC memiliki moto :
"CUSTOMER IS THE KING" jadi setiap keluhan atau kritikan paling pedas
sekalipun harus ditampung dulu pelajari lalu selidiki apakah ada kelemahan dari
karyawannya (dokter dan seluruh karyawan) yang melakukan kesalahan. Setiap
Pelanggan harus dilayani dengan baik, kalau OMC ingin maju dan memenangkan
dalam bersaing dengan Kompetitor yang lain. RS OMC masuk dalam kategori
pelayanan PUBLIC, saya sarankan pihak RS OMC belajar banyak dari HOTEL-HOTEL
yang dimanapun berada. saya kebetulan karyawan Hotel, dan saya tahu betul
falsafah yang ditanamkan oleh PERHOTELAN kepada semua KARYAWAN-nya dari GM
sampai ke karyawan paling rendah bahwa : THE GUEST IS THE KING / tamu adalah
RAJA.Nah berkaitan dengan pihak RS OMC seakan-akan menepuk air di dulang, jadi
ingin membela diri malah sekarang mendapat perlawanan public. Ingat Public
tidak akan mengerti apakah RS OMC itu berada di pihak yang benar atau salah..!
sudah banyak sekali berita Negatif tentang RUMAH SAKIT diindonesia ini yang tidak
menghargai PELANGGANNYA. Jadi Saran saya pada semua RS di indonesia ini harus
memiliki MOTO seperti PERHOTELAN yaitu : CUSTOMER IS THE KING.Belajarlah dari
perhotelan, Contoh : kalau ada pelanggan yang Komplain maka pihak management tidak
akan pernah bernegosiasi dengan Konsumen untuk mencari siapa yang benar dan
siapa yang salah, tapi yang dilakukan adalah memberikan imbalan kepuasan kepada
konsumen yang komplain tersebut berupa Cindera Mata dan Surat permohonan Ma'af
atas segala kekurangan. Saya berpikir bahwa seluruh Rumah sakit di Indonesia
ini harus merubah apa yang selama ini tekesan di Public seakan RS adalah
PENTING di atas pelanggan maka harus dibalik bahwa PELANGGAN lebih penting. ini
untuk memenangkan Kompetitor dari RS yang lain. Ingat ada kemungkinan apabila
bersikap arogan maka kita akan di tinggal oleh pelanggan/Konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar