Selasa, 20 Mei 2014

Study kasus Prita Mulyasari



1.       Bagaimana pandangan sauadara tentang kasus prita mulyasari  yang didakwa dengan pencemaran nama baik padahal kalau menurut  hemat saya apa yang dilakukan prita adalah bentuk kemerdekaan dan kebebasan  sebagai warga negara untuk mengungkapkan apa yang menjadi keyakinannya?
Jawaban
·         Pencemaran nama baik dalam KUHP diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
·         Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi jurnalistik. Aturan itu, dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di masyarakat, terlebih lagi dianggap dapat menghambat kerja khususnya bagi wartawan dalam menyampaikan informasi kepada publik.
·         Sementara dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dalam pasal yang sama, kontitusi negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyebarluaskan dan memperoleh informasi serta berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang tersedia.
·         Jadi, penerapan aturan pasal tentang pencemaran nama baik itu dinilai bertentangan dengan konstitusi negara. Sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik.
2.       Bagaimana anda menyikapi kasus ini dipandang dari segi hak asasi manusia?
Jawaban
·         Bahwa hak dan kebebasan terdakwa Prita Mulyasari tersebut, diduga atau didakwa bertentangan dengan hak orang lain, yakni dr Hengky Gosal dan dr Grace Hilza Yarlen Nela. Hak dan kebebasan dua dokter itu juga diatur dalam Pasal 28 G Ayat (1) perubahan UUD 45. Pasal tersebut berbunyi:“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.”
·         Sebagai tambahan, penangkapan Prita Mulyasari, terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang ITE, juga ikut mencabut hak kedua anak Prita yang masih berusia balita. Yang mana penangkapan terhadap Prita Mulyasari menentang hak tumbuh kembang anak-anaknya. Hal ini selaras pernyataan Tini Hadad, Sekretaris Jenderal Yayasan Kesehatan Perempuan, seusai konferensi pers mengenai kasus Prita di Jakarta:“Setiap anak berhak mendapat susu selama dua tahun. Ketika Bu Prita ditahan, hak anak-anaknya tercabut dengan paksa.”
·         Tindakan sewenang-wenang tersebut telah melanggar hak tumbuh kembang anak, padahal hal tersebut telah diakomodasi dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan. Misalnya ratifikasi dan perundangan Konvensi Hak Anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan beberapa peraturan lain.
·         Namun, hak Ibu Prita sebagai pasien rumah sakit juga tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Hak Prita sebagai pasien di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, dari lembaga tersebut sesuai Undang-ndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.Dalam Pasal 66 UU tersebut dinyatakan, setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Sayangnya, menurut ketua MKDKI, proses penanganan tersebut dapat berlangsung.
·         Dalam kata lain, hal itu merupakan ilustrasi MKDI dalam melindungi kehormatannya sendiri dan gengsi dunia medis yang seolah-olah bersifat exclusive dan untouchable. Selain itu, selama pasal-pasal dalam undang-undang masih tidak jelas, simpang siur, lentur seperti karet, maka selamanya pihak yang lemah selalu dirugikan karena ditindas oleh korporat yang lebih kuat. Dengan demikian, seakan-akan hak asasi tiap-tiap warganegara Indonesia belum selamanya mampu ditegakkan, karena hak asasi di Indonesia hanya mendapatkan pengakuan secara konstitusi dan otentik tanpa ada perlindungan yang kompeten dan adil yang memihak pada yang benar.
·         Begitulah cermin hukum di Indonesia: tidak transparan, tidak ada supremasi hukum, tidak menerapkan nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia, melainkan memihak yang kuat dengan menyingkirkan yang lemah.
3.       Kesimpulan yang dapat ditaarik dari kasus prita adalah:
Kebebasan berpendapat dalam UUD 1945 pasal 28 secara kontekstual memang menjamin kebebasan berpendapat, akan tetapi kedudukannya tidak cukup kuat untuk melindungi hak-hak ibu Prita ketika mengungkapkan komplain dan keluhan terhadap pelayanan medis RS Omni Internasional di Tangerang. Di sisi lain, pasal tertentu dalam UUD 1945 juga menjamin hak-hak individu di dalamnya—staf dokter di rumah sakit bersangkutan. Hal ini karena pasal-pasal dalam UUD 1945 diinterpretasi pada tiap individu yang berbeda menjadi saling bertentangan dan tidak relevan. Beragam perspektif yang terjadi seputar sidang kasus Ibu Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional membentuk public opinion yang variatif, beberapa secara penuh mendukung ibu Prita bebas dari segala tuduhan dan menyalahkan sikap agresif RS Omni Internasional, dan sebaliknya.
Saran :
ndonesia merupakan negara hukum beserta hukum yang tersusun atas bermacam undang-undang yang mengatur hubungan warganegara dan negara. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis, dengan demikian adalah perlindungan terhadap kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia menjadi prioritas prinsip utama negara hukum yang demokratis. Kasus Ibu Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional menjadi bukti nyata adanya cacat hukum di Indonesia. Hukum Indonesia menjadi cacat karena kasus Ibu Prita Mulyasari menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak lagi transparan, tidak ada supremasi hukum, dan tidak mengandung nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28. Hukum Indonesia secara transparan memihak yang kuat, tidak ada kedudukan yang sama di dalam hukum. Terbukti dengan vonis bersalah terhadap Ibu Prita Mulyasari yang notabene powerless. Mungkin, akan lain ceritanya jika yang menuliskan keluhan pelayanan medis sekaligus mantan pasien RS Omni Internasional bukan Ibu Prita Mulyasari, melainkan Jusuf Kalla atau putri Barrack Husein Obama. Jika demikian, sudah jelas RS Omni Internasional bakal ditutup dengan konsekuensi nama baik dunia kedokteran Indonesia tercoret dan jauh dari excellent with morality.
4.       excellent with morality
adalah
Moral dan etika adalah dua hal yang tidak terpisahkan karena pada dasarnya moral adalah tingkah laku yang telah diatur atau ditentukan oleh etika. Moral sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu moral baik dan moral jahat. Moral baik ialah segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik, begitu juga sebaliknya dengan moral yang jahat. Moral adalah faktor motivasi yang berhubungan dengan produktivitas dan produk atau hasil kualitas pelayanan.
Moral adalah
·         nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial dan mengatur tingkah laku seseorang
·         Moral berkenaan dengan norma - norma umum, mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang
·         suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat
·         tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat atau sebagai orang dengan jabatan tertentu atau profesi tertentu
·         suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran - ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu
·         pernyataan pikiran yang berhubungan dengan semangat atau keantusiasan seseorang dalam bekerja
5.       Prita menuangkan isi hatinya mengenai Rumah Sakit Omni Medical Center, khususnya pada ketidak puasannya mengenai pelayanan rumah sakit tersebut. Email tersebut tersebar luas ternyata di kalangan umum, padahal Prita sebelumnya hanya mengirim pada kerabat saja. OMC yang mengetahui hal ini menuntut Prita atas pencemaran nama baik, tanpa menyelidiki terlebih dahulu kondisi internal rumah sakit, pihak pengacara OMC menuntut Prita dengan tuntutan berlapis, pihak pengadilan pun memenangkan OMC, terlihat seperti Prita didiskriminasikan dari haknya untuk vokal bersuara bebas. UUD 1945 mengenai berpendapat secara lisan maupun tulisan tidak dianggap sama sekali oleh petinggi-petinggi perusahaan yang mendirikan rumah sakit untuk mencari laba, dan petinggi-petinggi pengadilan negara yang takut untuk vokal membela yang benar, bukan yang mempunyai uang.
Jawaban
·         Yang dibutuhkan dalam kasus ini adalah Hati Nurani dari pihak Rumah Sakit OMC. Apakah mereka tega melihat penderitaan dari anak-anak Ibu Prita yang saat ini masih benar-benar membutuhkan perhatian dari ayah dan ibunya. Jika mereka masih ngotot untuk meneruskan perkara ini, berarti mereka siap untuk bertanggung jawab dengan penderitaan ke dua putri Ibu Prita.Kenapa pihak Rumah Sakit OMC tidak memberikan surat teguran dulu sebelum membuat hal ini menjadi besar seperti sekarang?Itu akan jauh lebih baik bagi semua.
·         seharusnya Pihak Rumah sakit OMC memiliki moto : "CUSTOMER IS THE KING" jadi setiap keluhan atau kritikan paling pedas sekalipun harus ditampung dulu pelajari lalu selidiki apakah ada kelemahan dari karyawannya (dokter dan seluruh karyawan) yang melakukan kesalahan. Setiap Pelanggan harus dilayani dengan baik, kalau OMC ingin maju dan memenangkan dalam bersaing dengan Kompetitor yang lain. RS OMC masuk dalam kategori pelayanan PUBLIC, saya sarankan pihak RS OMC belajar banyak dari HOTEL-HOTEL yang dimanapun berada. saya kebetulan karyawan Hotel, dan saya tahu betul falsafah yang ditanamkan oleh PERHOTELAN kepada semua KARYAWAN-nya dari GM sampai ke karyawan paling rendah bahwa : THE GUEST IS THE KING / tamu adalah RAJA.Nah berkaitan dengan pihak RS OMC seakan-akan menepuk air di dulang, jadi ingin membela diri malah sekarang mendapat perlawanan public. Ingat Public tidak akan mengerti apakah RS OMC itu berada di pihak yang benar atau salah..! sudah banyak sekali berita Negatif tentang RUMAH SAKIT diindonesia ini yang tidak menghargai PELANGGANNYA. Jadi Saran saya pada semua RS di indonesia ini harus memiliki MOTO seperti PERHOTELAN yaitu : CUSTOMER IS THE KING.Belajarlah dari perhotelan, Contoh : kalau ada pelanggan yang Komplain maka pihak management tidak akan pernah bernegosiasi dengan Konsumen untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi yang dilakukan adalah memberikan imbalan kepuasan kepada konsumen yang komplain tersebut berupa Cindera Mata dan Surat permohonan Ma'af atas segala kekurangan. Saya berpikir bahwa seluruh Rumah sakit di Indonesia ini harus merubah apa yang selama ini tekesan di Public seakan RS adalah PENTING di atas pelanggan maka harus dibalik bahwa PELANGGAN lebih penting. ini untuk memenangkan Kompetitor dari RS yang lain. Ingat ada kemungkinan apabila bersikap arogan maka kita akan di tinggal oleh pelanggan/Konsumen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar