BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pemberantasan
korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari
pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan
berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang
belum terjangkit oleh korupsi [1].
Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal reformasi
koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak menyusul
terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis. Beberapa
kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi politik. Para
koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan mengancam institusi-institusi
antikorupsi.[2]
Ada
sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan tentang
korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar
8,03 milliar dolar AS.[3] Transparansi
International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI)
Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun
sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110
dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni
dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [4].
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang semakin merajalela dan merugikan
keuangan negara dibutuhkan sebuah konsep hukum sebagai alat yang dapat
dipergunakan untuk menjerat para pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana
korupsi (tipikor). Hukum harus menjadi panglima dan ujung tombak dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Indonesia
sebagai negara hukum menganut sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) yang diwarisi oleh
pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam kehidupan
bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dan teratur. Dalam sistem hukum civil law, hukum
tertulis merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh
munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu
hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang. Mereka
mengatakan bahwa hukum adalah identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan
dan ilmu pengetahuan hukum diakui sebagai hukum apabila undang-undang
menunjuknya[5].
Sistem hukum civil law terdapat banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan
jaminan kepastian hukum dalam penegakannya. Sistem hukum ini hanya menjadikan
hukum tertulis sebagai dasar utama dalam menjatuhkan vonis oleh hakim. Hal ini
berimplikasi terhadap tiap vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa
keadilan di masyarakat.
Hukum
progresif mengingatkan bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti. Oleh karena
hukum terus menerus berada pada status membangun diri. Dengan demikian
terjadinya perubahan sosial dengan didukung oleh social engineering by law yang
terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia [6].
Hukum progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus memberikan perubahan
hukum walaupun paradigma yang substansial adalah pembalikan dari ajaran legisme
tapi dalan aplikasinya tetap dibutuhkan aturan demi proses berjalnnya sistem
hukum di Indonesia. Konsep hukum progresif yang lebih mengutamakan rasa keadian
dan kebenaran materiil di dalam masyarakat merupakan terobosan hukum yang dapat
menjadi alternatif dalam penegakan hukum yang dirasa selama ini hanya
terkungkung oleh aturan tertulis saja. Subyek yang paling berperan dalam
menemukan dan menciptakan dalam konsep hukum ini adalah hakim.
Hakim
membuat undang-undang karena undang-undang tertinggal dari perkembangan
masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi
sebagai penemu yang dapat menemukan mana yang merupakan hukum dan yang bukan
merupakan hukum. Hal ini seolah-olah hakim sebagai pemegang kekuasaan
legislative atau pembentuk undang-undang. Selanjutnya dikatakan, bahwa
undang-undang (kodifikasi) justru diadakan untuk membatasi hakim yang karena
kebebasannya telah menjurus kepada tirani atau kesewenang-wenangan. Akan tetapi
bila hukum tertulis tidak lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang
ada untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi barulah dicari kelengkapannya
dari sumber hukum yang lain-lainnya [7].
Dalam
Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Bertolak
dari fakta ini maka hakim sebagai subyek dalam menciptakan hukum di pengadilan
tindak pidana korupsi (tipikor) memiliki otoritas tertinggi untuk menemukan dan
menciptakan hukum dalam memutus setiap kasus korupsi yang ada. Dengan demikian
harmonisasi antara konsep hukum progresif dengan sifat diskresi hakim dalam
menemukan dan menciptakan hukum dalam pemberantasan korupsi dan penetapan
sanksi hukum terhadap para pelaku korupsi akan mendapat sanksi yang tegas serta
dapat memenuhi rasa keadilan yang didambakan oleh masyarakat luas.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka Penulis memberikan rumusan masalah yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
konsep hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) pada proses penemuan hukum sebagai
upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
2. Bagaimanakah
korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai sarana hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) demi proses
penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku korupsi mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
BAB III
PEMBAHASAN
Konsep Hakim Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Pada Proses Penemuan Hukum Sebagai
Upaya Penetapan Sanksi Hukum Kepada Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
1.
Implikasi Hukum Progresif Sebagai Dasar
Penemuan dan Penciptaan Hukum Dari Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor)
Hukum
progresif ini tidak pernah memandang bahwa hukum positif itu tidak baik, akan
tetapi terkadang jika dihadapkan pada persoalan hukum yang sulit terpecahkan
maka dengan sendirinya hukum positif tersebut akan lumpuh. Usaha mencari
kebenaran yang mewajibkan dalam menyusun suatu tatanan hukum dengan sendirinya
mendapat suatu dorongan baru apabila sudah menjadi jelas pada suatu tahap
sejarah tatanan hukum melulu ada di tangan mereka yang kuat dalam tatanan hukum[8].
Adanya keinginan untuk menuju ke arah perombakan sistem hukum yang lebih baik
tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dibutuhkan kapabalitas dan
integritas tinggi untuk menuju perubahan tapi semua elemen bangsa termasuk
pemerinta juga punya peranan yang penting. Redfield dan Black dalam ajarannya
mengatakan ”Hukum bukan lagi rakyat atau yang terjadi sebenarnya maka akan
berubah jadi watak hukum nasional”[9].
Hukum
progresif akan berjalan lumpuh dan tidak akan efektif jika aparat penegak hukum
dan rakyat kurang peduli dalam mematuhi aturan hukum. Transfer dari hukum
progresif ke pemerintah melalui setiap kebijakannya berupa “government social
control” artinya untuk pengendalian hukum agar lebih dapat menciptakan tertib
hukum dan perbaikan sistem birokrasi. Dengan demikian akan dapat diketahui
iudex factie (apa perbutan hukumnya) dan iudex iuris akibat hukumnya). Adanya
perubahan tatanan ekonomi social melalui konsepsi hukum progresif diharapkan
mampu untuk memberikan kesetabilan dala kehidupan masyarakat terutama setelah
mengalami porak poranda dengan adanya tidak pidana korupsi yang menghancurkan
sistem perekonomian rakyat. Berikut ini akan penulis sajikan pendapat dari
Roscoe Pound yang berbunyi ”Law must stable and yet it cannot stand still,
hence all thinking about law has struggled to reconcilebthe conflicting demands
of the need of stability anf the need of change”[10].
Dalam
menghasilkan produk hukum progresif yang selalu bersifat responsif dan dan
ideologi pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk sementara waktu dari hukum
itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini akan senada dengan
substansi dari “Conference On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan
penulis uraikan lebih rinci dari ciri-ciri khas adalah sebagai berikut:
a.
The
separation of law from other varieties of social control
b.
The
existence of law in the form of rules that both define the proper sphere of
their on application
c.
That
are presented as the objective and legitimate normative mechanism while other
normative types are partial as subjective
d.
Yield
determinant and predictable results in their application in judicial process [11].
2.
Peranan Hakim Pada Proses Penemuan dan
Penciptaan Hukum Demi Mencapai Keadilan Dalam Perspektif Hukum Progresif di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hakim
adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Seorang hakim haruslah menjaga kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku serta
dalam hal ini dilakukan suatu pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) yang diatur
dalam undang-undang.
Syarat
dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang.
Hakim menjalankan tugas dan peranannya sesuai dengan undang-undang. Tugas dan
peranan hakim yaitu memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang masuk
padanya. Bila hakim menghadapi hal tersebut
dapat diatasi dengan dua cara. Jika peraturan tidak jelas, hakim
melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan
berbagai metode interpretasi atau penafsiran, seperti penafsiran otentik,
sistematis, historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturan tidak lengkap,
hakim akan melakukan penalaran (reasoning), juga dengan berbagai metode
penalaran atau argumentasi tertentu seperti argumentum peranalogiam (analogi)
dan penyempitan hukum [12].
Hakim
dalam memeriksa dan memutuskan perkara menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum
tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu
(Rechtsvinding), dan/atau menciptakan (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum
yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus
menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum
tidak ada, tidak lengkap, atau hukum samar-samar.
Hakim
harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif (yang
terlihat) saja. Hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih
dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan. Hakim harus dapat melihat hal-hal
yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran
apa yang ada disana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan
hal itu [13].
Hakim
Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakuan penemuan hukum dan
penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua hakim dalam
lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan, baik hakim tingkat pertama,
tingkat banding maupun tinkat kasasi atau hakim Agung. Penemuan dan penciptaan
hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip
atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim
dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip apa yang harus dipegang hakim dalam upaya penemuan
dan penciptaan hukum, maka harus dilihat dalam prinsip-prinsip peradilan yang
ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan
dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung [14].
Dalam penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi
secara terpaksa atau silogisme [15].
Mark up adalah
bentuk perubahan dari anggaran tanpa melihat rasionalitas pendanaan yang
menjadi argumentasi bagi anggaran yang dilakukan berdasarkan perkiraan
peningkatan pendapatan [16].
Modus korupsi ini kebanyakan dilakukan oleh kepala daerah dalam mengambil
setiap kebijakan dalam menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) guna belanja daerah. Para pelaku korupsi ini sulit
dijerat dengan sanksi yang tegas dikarenakan hakim di pengadilan tindak pidana
korupsi (tipikor) tidak memahami penetapan sanksi yang harus dijatuhkan. Hakim
ini dapat menggunakan sinkronisasi antara konsep hukum progresif dengan
menganalisis bentuk kerugiaan imateriil terhadap keuangan negara dari pasal 2
dan 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika dapat menafsirkan secara substansial
terhadap kerugiaan tersebut, maka hakim akan dapat menemukan dan menciptakan
penetapan sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi tersebut. Dengan demikian
proses penciptaan hukum oleh hakim akan dapat memberikan rasa keadilan terhadap
masyarakat.
Korelasi Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagai Sarana Hakim
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Demi Proses Penemuan Hukum Sebagai Upaya
Penetapan Sanksi Hukum Kepada Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
1.
Pemaknaan dan Penafsiran Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagai
Harmonisasi Sifat Responsif Hukum Progresif Dalam Menciptakan Keadilan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Sistem pengharmonisasian antara hukum progresif dan undang-undang akan terlihat
ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik
yaitu dalam penangkapan terhadap hukuk itu sangat statis dan tidak pernah
memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat.
Dalam
kondisi yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut
keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk menangkap keadilan
masyarakat (social justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan
tidak akan mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis
perkara cenderung berpedoman pada formalis prosedural daripada rasa keadilan
sosiologis. Fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih
“Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari
kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang
berubah karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi
pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh
warga masyarakat itu sendiri’[17].
Sangat urgen sekali ketika hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)
sebagai aparat penegak hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat
menerapkan substansi hukum progresif yang berorientasi pada keadilan sosiologis
mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian
masyarakat.
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu Perubahan
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup
serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia
sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang
lebih bersifat Indonesia [18].
Kepastian
hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas dari hukum. Walaupun demikian
sering kali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara
merata. Menurut Max Weber yang membedakan antara substantive rationality dari
formal rasionality. Pada sistem hukum barat mempunyai kecenderungan untuk lebih
menekankan pada segi formal rasionality
artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan semacam itu sering kali
bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rasionality yaitu
kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual [19].
Dari
ajaran Max Weber di atas Penulis berpendapat satu tugas hukum adalah untuk
menciptakan kepastian hukum jika dikaitkan dengan konfigurasi hukum progresif
yang ideologi pro rakyat berarti jelas hukum akan mengatur akan kehidupan
masyarakat demi mencapai keadilan. Hal itu semua dapat tercapai jika formal
rasionality yang berupa aturan tertulis akan diberi makna oleh hakim ad hoc di
pengadilan tindak korupsi dalam setiap vonis yang dijatuhkan.
Hukum
progresif sangat diperlukan untuk
mengharmonisasi agar lebih memberikan dorongan para aparat penegak hukum
khususnya hakim dapat menyelesaikan dengan menggunakan analogi dan sifat
diskresi yang dimiliki. Dengan demikian semua perkara korupsi dan kerugian
negara yang telah terjadi dapat menemukan titik keadilan demi kesejahteraan
masyarakat luas. Salah satu pokok pikiran dari hukum progresif adalah mengenai
jurisprudence terhadap pemaknaan dari undang-undang atau pun aturan yang ada.
Dipandang
penting dalam membaca hukum sesudah diajukan gagasan pembebasan agar keberanian
melakukan pembebasan tersebut diterapkan pada saat hakim di pengadilan tindak
pidana korupsi (Tipikor) aturan tertulis dalam menjerat para pelaku mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Membaca undang-undang tidak bisa
diartikan cuma pasal-pasal dalam undang-undang. Independensi dan kebebasan
hakim juga terletak pada kebebasannya untuk memberi makna kepada aturan hukum
tertulis.
Dari
konsep hukum progresif tersebut maka akan dapat memberikan harmonisasi dari
undang-undang tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus korupsi. Para
hakim dan jaksa perlu mendapat pembelajaran kembali agar berani membaca teks
dengan bebas dan progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan
sosial yang dapat menempatkan keadilan formalitas prosedural dan keadilan
sosiologis empiris.
Fenomena
yang ada tidak sedikit teks undang-undang yang malah bisa merusak masyarakat
manakala tidak dibaca dan dimaknai secara progresif dan baik. Para hakim dan
jaksa dalam melakukan pembebasan asal bisa memberikan argumentasi dan
berkeadilan harus tetap optimis dan tidak boleh ragu-ragu. Jika itu dapat
dilakukan maka hukum progresif dapat di tempatkan pada fungsi hukum yaitu untuk
melayani, menjamin, dan menjaga penegakan hukum di Indonesia. Jika bertolak
dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger
the economy the more powerful its smallest players to create the new rule for
the expanding global economic order” [20].
2.
Penjatuhan Vonis Hakim Sebagai Upaya
Penetapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Di
dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B ayat (6) terdapat kata dan kalimat sebagai
beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan hukum….”. Maka kata
“dibebaskan” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 191
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang
dimaksud dengan kalimat “lepas dari segala tuntutan hukum” tersebut adalah sama
sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus bebas”.
Penjelasan
Pasal 38 ayat (6) menjelaskan bahwa : “Dasar
pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (6)
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah alasan logika hukum karena dibebaskannya
atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hakum dari perkara pokok
berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”.
Berhubung terdakwa telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari
segala tuntutan hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka harta
benda milik terdakwa yang semula diduga berasal dari tindak pidana korupsi
tidak dapat dianggap sebagai diperoleh dari tindak pidana korupsi, sehingga
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat mengajukan
tuntutan rampasan untuk negara terhadap harta benda milik terdakwa tersebut [21].
Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang
digunakan ketika memberikan vonis terhadap para pelaku tindak pidan korupsi
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) tergantung dari unsur
kesalahan dari pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan
delik-delik hukum yang ada hubungannya dengan perbuatan pelaku dan makna hukum
progesif, sehingga putusannya akan dapat memberikan rasa keadilan.
Terlalu
fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak
pada persoalan kelasalahan administrasi atau kesalahan prosedur semata.
Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi adalah
bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan
hukum, jika pertimbangannya semata-semata merupakan kesalahan administrasi.
Kesalahan administrasi sesungguhnya adalah tempat atau letak sifat melawan
hukumnya perbuatan dari sudut formal.
Namun
jika dari jika terjadi dari kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis
sebagai potensial menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum
memperkaya sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal
ini disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan
secara mutlak harus nyata telah timbul bentuk kerugian [22].
Dalam pemberian vonis yang diberikan oleh hakim ad hoc pengadilan tindak pidana
korupsi (Tipikor) banyak dipengaruhi oleh legal opinion yang dikonstruksi
sebelum vonis dijatuhkan.
Penafsiran
terhadap pemaknaan undang-undang sebagai dasar hukum yang digunakan juga akan
berpengaruh terhadap vonis yang dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun
materiil juga harus digunakan oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan. Dalam
penjatuhan vonis tidaj hanya kepastian hukum saja yang diperhatikan, akan
tetapi juga tentang keadilan dan kemanfaatan.
Kepastian
hukum di sini bermakna dengan adanya vonis hakim akan memberikan sanksi yang
tegas bagi para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dan akan memberikan efek jera. Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan
dasar pertimbangan hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan
setelah adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan
dari para pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Bahwa
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan pihak yang
memiliki otoritas tertinggi dalan setiap pengambilan keputusan berupa vonis
hukum. Sifat diskresi yang dimilikinya dengan berdasarkan substansi hukum
progresif akan dapat menembus aturan hukum tertulis demi menemukan dan
menciptakan hukum sendiri dalam tiap penetapan sanksi hukum untuk mencapai
keadilan mengingat korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) mengingat korupsi tersebut telah merugikan keuangan negara baik di
tingkat pusat dan daerah.
2. Bahwa
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”, merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh hakim di
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam menemukan dan menciptkan hukum
dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku mark up korupsi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Pemaknaan dan penafsiran hukum dari pasal tersebut
merupakan sarana utama yang harus digunakan oleh hakim untuk memahami dan
mengkaji dari setiap kasus yang ditangai dengan tidak hanya berdasarkan aturan
tertulis, akan tetapi harus dapat memprioritaskan secara materiil bahwa korupsi
telah telah merugikan perekonomian masyarakat, sehingga vonis yang dijatuhkan
walaupun bertentangan dengan aturan tertulis dengan mengatasnamakan keadilan
dapat dijatuhkan
Saran
1. Sebaiknya
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dapat digunakan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) untuk
dapat menembus aturan hukum tertulis dalam menjatuhkan vonis terhadap para
pelaku mark up korupsi.
2. Sebaiknya
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) :
a. dapat
memberikan penafsiran hukum terhadap aturan tertulis terhadap pasal 2 dan 3
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang tindak
pidana korupsi mengingat substansi aturan tersebut terdapat nilai-nilai
keadilan masyarakat yang harus diperjuangkan oleh hakim.
b. dapat
memberikan vonis mati terhadap pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dengan mensinkronkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 terhadap klausula hukuman mati kepada
koruptor dengan konsep keadilan dari hukum progresif
c. sebelum
memberikan putusan terhadap para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) harus mencantumkan legal reasoning terkait pemggunaan hukum
progresif dalam penjatuhan vonis yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Adami Chazawi.
2008. Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Alumni
Bandung
Alan Hant. 1993.
Exploration In Law And Society. New York: Routeledge
Ermansjah Djaja.
2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jakarta: Sinar
Grafika
Ilhami
Bisri.2004.Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Kwik Kian Gie.
2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika Mardi Juana
Purnadi
Purbacaraka dkk.1987. Renungan Tentang Filsafat Hukum.Jakarta: CV Rajawali
Qodri Azizy.
2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar dan IAIN
Walisongo Semarang
Soerjono
Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Sotandyo
Wignjosoebroto. 2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
Sebuah Pengantar
Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing.
Sudikno
Mertokusumo dkk. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta : PT. Citra
Aditya Bakti.
………………………...
2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cetakan II. Yogyakarta :
Penerbit
Liberty.
Sony Yuwono dkk.
2007. Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan
Daerah”. Malang:
Bayumedia Publishing
Sugijanto
Darmadi. 1998. Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Jakarta : : Penerbit CV
Mandar Maju.
Setiardja
A.Gunawan.1900. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Hukum di Indonesia. Jakarta: Kanisius
Sumber Jurnal Hukum Nasional
H.S. Mukhsin
Asyrof. 2006. “Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam
Proses Peradilan”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta
: Ikahi
Mujahidin. 2007.
Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah
Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
Lintong O.Siahaan.
2008. “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan
Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”. Varia Peradilan.
Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi
Sumber Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang
No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar