Yang menjadi inspirasi hierarki tata urut perundang-undangan adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen, dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.[1]
Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen
meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan
aspek dinamis (nomodinamic) yang
melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedmann mengungkapkan
dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:[2]
1.
Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah
untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2.
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang
berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3.
Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4.
Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada
hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5.
Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,
mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem
yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang
nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan
tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda
antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut
pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada
sebelumnya. Hierarki tata urutan perundang-undangan adalah kumpulan
norma-norma.
Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai
baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau
perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat
positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau
anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan
atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Apabila ditinjau dari segi etimologinya,
kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah
berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan
kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul
Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law.[3]
Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai
itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi:
1.
kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah
(permittere);
2.
anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa
Arab disebut sunnah;
3.
anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam
bahasa Arab disebut “makruh”;
4.
perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan
5.
perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang
dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[4]
Berlakunya
suatu norma senantiasa dapat dikembalikan
kepada berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga
akhirnya sampai pada grundnorm.[5]
Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum
dan abstrak (general and abstract norms)
dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms).
Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang
terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau
individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang
biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau
siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait. Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu
bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak,
atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.
Kelsen mengemukakan “Pure
Theory of Law” yang terjemahannya
teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya),
ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur
lain. Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain,
unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi,
ekonomi dan sebagainya. Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen
mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum.
Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan
demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah
abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm. [6]
1.
Norma
a. Pengertian
Norma
Suatu
pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman kita menunjukkan kesesuaian
dengan relitas tersebut. Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas
sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas.
Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu
seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat
bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu
seharusnya terjadi.[7]
Norma
adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya
dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa
latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan,
atau aturan dalam bahasa Indonesia.[8]
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma
itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap
lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa
asingnya disebut dengan das Sollen (ought
to be/ought to do).[9]
Norma
hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh
lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat,
agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[10]
b. Norma
Superior Dan Norma Inferior
Analisis
hukum, yang menyingkap karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma
dasar, juga menunjukan kekhususan lebih lanjut dari hukum, yaitu: Hukum
mengatur kriterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma
lain dibuat, dan juga isi dari norma tersebut. Sejak suatu norma hukum adalah
valid karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lain, maka
norma terakhir merupakan alasan validitas yang pertama.[11]
Hubungan
antara norma yang mengatur pembuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat
disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma
yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang
dibuat adalah inferior. Tata Hukum, khususnya sebagai personifikasi negara
bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya,
tetapi suatu hirarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan
norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah,
ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh
norma yang paling tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum
yang membentuk kesatuan.[12]
c. Norma
Statis Dan Dinamis
Hans
Kelsen mengemukakan adanya dua system norma, yaitu system norma statis (nomostatics) dan system norma dinamik (nomodynamics). Norma statis adalah
system yang melihat pada isi suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik
menjadi norma khusus, atau norma khusus
itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Sistem norma yang dinamik adalah
suatu system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma dari cara
pembentukannya dan penghapusannya.
Menurut
hans kelsen, norma itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yang
hierarkis, dimana norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ‘regressus’ ini
berhenti pada norma yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi
ditelusuri siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma dasar atau biasa
yang disebut grundnorm, basicnorm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma
yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma
yang lebih tinggi lagi, tetapi berlaku secara presupposed, yaitu lebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat.[13]
d. Norma
Hukum Vertikal Dan Horizontal
Dinamika
norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1)
Dinamika norma hukum vertikal
Adalah dinamika yang
berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang
vertikal ini norma hukum itu berlaku, berdasar, dan bersumber, pada norma hukum
di atasnya, norma hukum di atasnaya berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma
hukum yang atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang
menjadi dasar norma hukum di bawahnya.
Dinamika norma hukum
vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum, yang ada di negara
Republik Indonesia: Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan sumber dan
dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam
Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945, dan seterusnya.
2)
Dinamika norma hukum horizontal
Suatu norma hukum itu
bergeraknya tidak ke atas atau tidak ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika
norma horizontal ini tidak membentuk norma hukum baru akan tetapi tapi bergerak ke samping karena adanya suatu
analogi. Contoh pencurian listrik. Listrik bukanlah suatu benda, tetapi dapat
ditafsirkan secara analogi menjadi benda.[14]
e. Norma
Hukum Umum dan Individual
Norma
hukum dari segi alamat yang dituju (addressat) dapat dibedakan antara norma
hulkum umum dan individual. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang
ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Norma hukum individual adalah
norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan (addressatnya) pada seseorang,
beberap orang, atau banyak orang yang telah tertentu .[15]
f. Norma
Hukum Abstrak dan Kongkret
Norma hukum abstrak
adalah suatu norma hukum, yang melihat pada perbauatan seseorang yang tidak ada
batasnya dalam arti tidak kongkret. Norma hukum abstrak mmerumuskan suatu perbuaan secara abstrak, miusalnya
mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya. Sedangkan norma hukum
kongkret adalah melihat perbuatan seseorang lebih nyata.[16]
g. Norma
Hukum Einmahlig Dan Dauerhaftig
Norma
hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali dan setelah
itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya
penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Contohnya adalah penetapan
seseorang menjadi pegawai. Norma hukum dauerhaftig adalah norma hukum yang
berlaku secara terus-menerus sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan
peraturan yang baru.
h. Norma
Hukum Tunggal Dan Berpasangan
Norma
hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum
lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang
bagaimana kita harus bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: Presiden
memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
Norma
hukum berpasangan terdiri dari norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum
primer adalah suatu norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita
harus berprilaku dalam masyarakat. Norma hukum primer ini biasa disebut das
Sollen atau disebutkan dengan istilah ‘hendaknya’.
Dari
pembatasan norma-norma tersebut yang membedakan antara norma hukum
umum-individual, norma hukum abstrak – kongkret, serta norma hukum yang satu
kali selesai, berlaku terus menerus, maka norma hukum yang termasuk dalam suatu
peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat
umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan norma hukum yang bersifat
individual kongkret dan sekali selesai merupakan keputusan yang bersifat
penetapan (beschikking). Di samping norma hukum yang termasuk dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu yang umum-abstrak
dan berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan (beschikking)
yaitu yang individual-kongkret dan berlaku sekali saja.
2.
Tingkat-
tingkat dalam tata hukum
a. Konstitusi
Dalam Arti Materiil Dan Formal
Struktur
hierarkis tata hukum suatu negara adalah sebagai berikut: Dipresuposisikan
sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi dalam hukum
nasional.[17]
Hans Kelsen mengatakan bahwa konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen
nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubahanya menurut ketentuan
khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma ini sulit dilakukan. Konstitusi
dalam arti materiil terdiri dari aturan-aturan yang mengatur pembuatan norma
hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang.
Konstitusi
formal biasanya juga berisi norma lain, yaitu norma yang bukan merupakan bagian
materi konstitusi.[18]
Tetapi hal ini adalah untuk menjaga norma yang menentukan organ dan prosedur
legislasi bahwa suatu dokumen nyata yang khusus dirancang dan bahwa perubahan
aturan-aturannya dibuat secara khusus lebih sulit. Hal ini karena materi
konstitusi adalah dalam bentuk konstitusional yang harus dipisahkan dari hukum
biasa. Terdapat prosedur khusus untuk pembuatan, perubahan, dan pencabutan
hukum konstitusi.[19] Berbeda
dengan Hans Kelsen, muridnya yang berkenamaan juga yaitu Hans Nawiasky melihat
norma tertinggi dalam negara selalu mempunyai kemungkinan mengalami perubahan,
baik oleh suatu peristiwa pemberontakan, coup d’etat.[20]
Konstitusi
dalam arti formal, khususnya ketentuan yang menentukan bahwa perubahan
konstitusi lebih sulit daripada perubahan hukum biasa, adalah mungkin hanya
jika terdapat konstitusi tertulis. Terdapat negara yang tidak memiliki meiliki
konstitusi tertulis, seperti Inggris, yang berarti tidak ada konstitusi formal.
Maka konstitusi memiliki karakter hukum kebiasaan dan tidak ada perbedaan
antara konstitusi dengan hukum biasa. Sedangkan konstitusi dalam arti materiil
dapat berupa konstitusi tertulis atau tidak tertulis.[21]
b. Norma
Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi: Undang-Undang dan Kebiasaan
Norma
umum yang ditetapkan dengan cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu
tingkatan di bawah konstitusi dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini
diaplikasikan oleh organ yang kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas
administratif. Organ pelaksana hukum harus diinstruksikan sesuai dengan tata
hukum, yang juga menentukan prosedur yang harus diikuti organ pada saat
mengaplikasikan hukum. Maka norma umum hukum undang-undang atau kebiasaaan
memiliki dua fungsi besar, yaitu:
1)
Menentukan organ pelaksana hukum dan
prosedur yang harus diikuti;
2)
Menentukan tindakan yudisial dan
administratif organ tersebut.
Tindakan inilah yang
menciptakan norma individual, yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.
c. Hukum
Konstitusi
Karena
fungsi pengadilan dalam kapasitasnya sebagai organ pelaksana hukum adalah mengaplikasikan
norma umum undang-undang atau kebiasaan terhadap kasus konkret, maka pengadilan
harus memutuskan apakah norma umum memberikan sanksi kepada perbuatan yang
diklaim oleh penuntut sebagai delik, atau diklaim oleh penggugat sebagai delik
sipil, dan apakah sanksinya.
Pengadilan
harus mampu menjawab tidak hanya pertanyaan tentang fakta (quaestio facti)
tetapi juga pertanyaan tentang hukum (quaestio Juris), dilakukan dengan
menentukan apakah norma umum tersebut yang diaplikasikan adalah valid yang berarti
mempertanyakan apakah norma tersebut telah dibuat dengan cara yang ditentukan
oleh konstitusi. Fungsi pengadilan ini menonjol khususnya ketika terdapat
keraguan apakah perbuatan tergugat atau terdakwa merupakan suatu delik. Pengadilan
harus menentukan keberadaan suatu norma tersebut seperti halnya menentukan
eksistensi delik. Fungsi menentukan eksisitensi norma umum yang diaplikasikan
oleh pengadilan mengimplikasikan pentingnya fungsi penafsiran norma tersebut,
yaitu menentukan maknanya.
Norma
konstitusi yang mengatur pembuatan norma umum yang diaplikasikan oleh
pengadilan dan organ pelaksana hukum lain adalah bukan norma lengkap yang
independen. Norma konstitusi secara intrinsik adalah bagian dari semua aturan
hukum yang harus diaplikasikan oleh pengadilan dan organ lain. Maka hukum
konstitusi tidak dapat dikutip sebagai suatu contoh norma yang tidak memberikan
sanksi. Norma dari materi konstitusi adalah hukum hanya dalam kaitan organiknya
dengan norma yang memberikan sanksi yang dibuat berdasarkan norma konstitusi
tersebut. Dalam pandangan dinamis pembuatan norma umum ditentukan oleh norma
yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, diproyeksikan sebagai bagian dari norma
yang lebih rendah.
d. Sumber
Hukum
Pembuatan
hukum dengan kebiasaan dan Undang-undang sering disebut sebagai dua sumber
hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan
norma individual yang bagaimanapun juga merupakan bagian dari hukum seperti
yang lainnya.
Sumber hukum adalah
ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya digunakan
untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi, tetapi
juga untuk mengkarakteristikan alasan validitas hukum khususunya alasan paling
akhir.
Maka
norma dasar menjadi dasar hukum. Namun dalam arti yang lebih luas, setiap norma
hukum adalah sumber bagi norma yang lainnya,
karena memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat.
Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi norma yang
lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.
e. Pembuatan
dan Pelaksanaan Hukum
Suatu
norma yang mengatur pembuatan norma lain adalah dilaksanakan dalam pembuatan
norma lain tersebut. Pembuatan hukum (Law Creating) adalah selalu merupakan
pelaksanaan hukum (Law applying).[22]
Adalah tidak benar mengklasifikasikan tindakan hukum sebagai tindakan pembuatan
hukum dan tindakan pelaksanaan hukum. Normalnya pembuatan hukum dan pelaksanaan
hukum terjadi dalam waktu yang sama.
Pembuatan
norma hukum adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan
pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu
norma yang lebih rendah. Legislasi adalah proses pembuatan hukum menurut
konstitusi sehingga juga merupakan pelaksanaan hukum. Pembuatan konstitusi
pertama dapat dilihat sebagai suatu pelaksanaan norma dasar. Dengan demikian
aktivitas hukum selalu melibatkan baik pembuatan maupun pelaksanaan. Hal ini
berlaku baik pada legislatif, pengadilan, maupun organ administratif dalam
suatu negara.
f. Konflik
Antar Norma
Kesesuaian
atau ketidak kesesuaian antara keputusan pengadilan dengan norma umum dan antara undang-undang dengan
konstitusi serta jaminan konstitusi yang berkekuatan hukum (res judicata). Norma
yang lebih tinggi, undang-undang, atau norma hukum kebiasaan, sekurang-kurangnya
menetapkan pembentukan dan isi dari norma keputusan pengadilan, yang
kedudukannya lebih rendah. Norma yang lebih rendah, bersama-sama dengan norma
yang lebih tinggi, termasuk ke dalam tata hukum yang sama hanya jika norma yang
lebih rendah bersesuaian dengan norma yang lebih tinggi.
Tetapi
siapa yang harus menetapkan apakah norma yang lebih rendah sesuai dengan norma
yang lebih tinggi , apakah norma khusus dari keputusan pengadilan sesuai dengan norma umum dari hukum statusta
dan hukum kebiasaan? Jawabannya adalah adalah harus ada satu pengadilan tingkat
terakhir, yang diberi hak untuk memberikan keputusan akhir tentang perkara
tersebut, yakni suatu otorita yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau
diubah lagi. Dengan keputusan tertinggi ini, maka perkara menjadi res judicata
(berkekuatan hukum) dan konstitusi menghendaki undang-undang sebagai valid
hanya selama undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ yang berkompeten
atau menurut cara yang biasa.
The unity of the
legal order can never be endangered by any contradiction between a higher and a
lower norm in the hierarchy of law.[23]
(Kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh suatu pertentangan antar
norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum).
[1] Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal,”
German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Yang dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori
Hans Kelsen tentang Hukum, Mahkamah
Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, hlm. 1.
[2] W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis
Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah:
Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal.
170.
[3] Plato, The Laws, translated by: Trevor J.
Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press. Hlm. 1
[4] Jimly, Asshiddiqie,
Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 1-2
[5] Kelsen, Hans, dalam Astim
Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung,
Yapemdo, 2000, hlm. 56.
[6] Purnadi Purbacaraka dan M
Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit.
Cetakan ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58 – 71
[7] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New
York, Russell & Russell, 1945
[8] Maria Farida Indrati
Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan,
Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm., 6.
[9] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm.
35
[10] Maria Farida Indrati
Suprapto, Op.Cit. hlm. 6
[11] Kelsen, Hans, Op.Cit,
hlm. 123-124
[12] Kelsen, Hans, Op.Cit,
hlm. 124
[13] Kelsen, Hans, dalam Maria
Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 8
[14] Kelsen, Hans, dalam Maria
Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 10
[15] Kelsen, Hans, dalam Maria
Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 11
[16] Kelsen, Hans, dalam Maria
Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 12
[17] Rommen, Heinrich A., The Natural Law: A Study in Legal And Social
History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998 hal.128. dalam
Jimly Asshiddiqie, Teori hans Kelsen
tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006,
Hal.111
[18] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111
[19] Kelsen, Hans, General
Theory..., Op.Cit., Hal. 124-125
[20] Astim Riyanto, Op.Cit.
hlm. 154
[21] Astim, Riyanto, Ibid,
hal.125
[22] Jimly Assiddiqie,
Loc.Cit., hal.118
[23] Ibid, 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar