Rabu, 11 Juni 2014

Piramida Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Teori Hans Kelsen,Hans Nawiaski dan berdasar pada UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011




1.        Mengenal Hukum Nasional Indonesia
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
Bentuk Hukum Indonesia
a.     Tertulis, misalnya: UUD 1945, UU Pokok Agraria, Hukum Pidana (KHUP),Hukum Perdata (KUHPer)
b.    Tidak Tertulis, misalnya: Hukum Adat, Hukum Kebiasaan.
Kedua kelompok hukum tersebut merupakan Hukum Indonesia atau Hukum Positif Indonesia, yaitu Hukum yang berlaku pada waktu saat ini, dibentuk oleh badan-badan kenegaraan yang diberi wewenang membentuknya.
Hukum positif itu dikatakan oleh hans kelsen sebagai teori hukum murni, merupakan teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus, ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun menyajikan teori penafsiran.[1]
Badan-badan kenegaraan lainnya yang kedudukannya di bawah Presiden dalam membentuk hukum dipengaruhi oleh alam pikiran bangsa Indonesia atau filsafat hidup bangsa Indonesia. Dasar filsafat dalam pembentukkan hukum Indonesia adalah Pancasila, karenanya Pancasila disebut Filsafat Hukum Indonesia. Bagaimana Pancasila memperoleh legalitas hukumnya sehingga merupakan suatu kaidah yang normatif, yang mengikat, yang mempengaruhi tingkah laku manusia Indonesia, baik sebagai individu dalam masyarakat maupun sebagai pendapat negara yang diserahi tugas membentuk Undang-Undang ditambah peraturan-peraturan lainnya.
Agar Pancasila merupakan kaidah yang mengikat, maka Pancasila harus merupakan kaidah yang mengikat. Untuk menjadi norma yang mengikat, Pancasila harus mempunyai ”Bentuk”dan ”Isi”. Bentuk Pancasila dan Isinya tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Bentuk : Tertulis. Isinya:
1)      Ketuhanan yang Maha Esa
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3)      Persatuan Indonesia
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
5)      mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun yang berhak mengisi sila-sila Pancasila adalah Rakyat Indonesia yang mendelegasikannya kepada sebuah badan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang membawakan suara dan kehendak rakyat Indonesia. Tampaknya Pancasila masih menjadi kaidah dasar dalam tertib hukum Indonesia.
Menurut teori tangga Hans Kelsen (Stufen Theory):       
General Norms (dibentuk oleh badan legislatif)

Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.
2.    Isi Hukum Indonesia
Menurut isinya hukum Indonesia dibedakan antara Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik adalah hukum yang melindungi kepentingan Umum/Negara. Hukum Privat adalah hukum yang melindungi kepentingan Privat/ Perorangan, Misalnya: jual beli, sewa menyewa. Hukum Privat disebut juga Hukum Perdata dalam arti luas, mencakup:
a.       Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu ketentuan yang dimuat dalam KUHS, Octrooi dan UU Auteur. UU Octrooi adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang industri, perdagangan. UU Auteur adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang kesenian dan kesusastraan.
b.      KUHD: Kitab UU hukum dagang. Sebagian hukum dagang masuk dalam hukum perdata, karena semula hanya terdapat hukum perdata, kemudian dirasakan perlu ada perbedaan antara keduanya, sehingga dampaknya terdapat campuran dalam kedua kitab UU tersebut. Sebagian hukum dagang masuk ke dalam kitab UU hukum perdata, sebagian hukum perdata masuk ke dalam hukum dagang.

Sesudah Indonesia merdeka terdapat 3 kodifikasi hukum, yaitu: Kitab UU Hukum Pidana, Kitab UU Hukum Perdata, Kitan UU Hukum Dagang. Dari perkembangan selanjutnya terdapat  pandangan bahwa Kitab UU Hukum Perdata mestinya seperti semula, hukum dagang masuk ke dalam hukum perdata, karena hukum dagang tidak ada landasan ilmunya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi adalah membukukan hukum ke dalam kitab UU secara sistematis dan lengkap.
3.    Tujuan Hukum
Tujuan hukum adalah untuk mencapai masyarakat yang tertib, adil dan damai, selain tujuan tersebut di Indonesia ditambahkan pengayoman. UUD 1945 sebagai dasar, berisi instruksi-instruksi untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Ini berarti bahwa hukum adalah alat untuk mendapatkan ketertiban dan alat untuk mencapai kesejahteraan sosial.
filosofis-ideologis UUD 1945 adalah untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu:
a.       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.      Meningkatkan kesejah­teraan umum;
c.       Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

4.        Kedudukan Pancasila Dalam Hukum Nasional (pandangan Kalsen dan Nawiaski dalam bentuk piramida)
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms . Pancasila adalah dasar negara. Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
a.    Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
b.    Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
c.    Undang-undang formal (formell gesetz); dan
d.    Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[2]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staats fundamental norm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.[3]
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[4]
a.    Staats fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
b.    Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
c.    Formell gesetz: Undang-Undang.
d.   Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staats fundamental norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. [5] Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staats fundamental norm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[6]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamental norm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.[7]
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.[8]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[9]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[10] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.[11]
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan bagian dari konstitusi.
5.        Pancasila Dalam Lintasan sejarah
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno Tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[12]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada Tanggal 10 Juli 1945.
Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.[13]
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanj utnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.


6.        Pokok Pikiran dan subtansi Penjelasan UUD 1945
Selain Pancasila, telah dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;
(1)     bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan;
(2)     bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3)     bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4)     bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar.
a.       Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
b.      Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
c.       Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
d.      Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.

Jimli Asiddiq mengatakan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.[14]
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 termasuk pancasila merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms. Yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi dan yang mempresuposisikan validitas UUD 1945 adalah  Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
7.        Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011
Hierarki atau tata urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republic Indonesia  (Pasal 7) adalah sebagai berikut :
a.  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3)      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)      Peraturan Pemerintah;
5)      Peraturan Presiden;
6)      Peraturan Daerah Provinsi; dan
7)      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

b.    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).[15]

Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundangundangandi Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudahberjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan/law maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 19453. Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.


[1] Hans Kelsen “Teori hukum murni-dasasr-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The fure of teory :Barkely University of California press :1978 : Nusa Media,bandung,2010, hlm 1
“Teori ini di kritik oleh hari chand :konsep norma dasar yg di kmukaka kelsen tidak jelas. Yang di sebut dengan norma dasar itu bukan mrupakan hukum positif tapi suatu pesu posisi pengetahuan yuridis.
[2] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[3] Piramida hukum hans kelsen dan nawiaski dalam bentuk piramida hukum nasional Indonesia”
[4]Ibid., hlm. 359
[5] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[6] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[7] “A.Amin S Attamimi menerapkan dalam struktur tata hukum nasional indonesia”
[8] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Loc.Cit., hal 115.
[9] Attamimi, Op Cit., hal. 359.
[10] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125.
[11] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 117
[12] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[13] “Piagam Jakarta dalam perumusan dasar Negara oleh tim 8 dalam perjalanannya setelah rumusan tersebut di serahkan kepada BPUPKI masi terdapat beberapa pertentangan antara nasionalis dengan agamawan”
[14] Jimly Asiddiq “ UUD 1945 adalah sumber hukum/staatfundamentalnorm
[15] “ Dalam undang undang-undang nomor 10 Tahun 2004 Tap MPR tidak masku dalam struktur peraturan perundangan-undangan hal itu kemudian di masukkan dalam amndemen tahun 2011 dan sebelum tahun 2004 tap MPR masih berlaku.”

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus