1.
Mengenal
Hukum Nasional Indonesia
Teori
Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan
bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana
norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan
pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum
yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma
hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
Bentuk
Hukum Indonesia
a. Tertulis,
misalnya: UUD 1945, UU Pokok Agraria, Hukum Pidana (KHUP),Hukum Perdata
(KUHPer)
b. Tidak
Tertulis, misalnya: Hukum Adat, Hukum Kebiasaan.
Kedua kelompok hukum
tersebut merupakan Hukum Indonesia atau Hukum Positif Indonesia, yaitu Hukum
yang berlaku pada waktu saat ini, dibentuk oleh badan-badan kenegaraan yang
diberi wewenang membentuknya.
Hukum
positif itu dikatakan oleh hans kelsen sebagai teori hukum murni, merupakan
teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus, ia
merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau
internasional tertentu, namun menyajikan teori penafsiran.[1]
Badan-badan
kenegaraan lainnya yang kedudukannya di bawah Presiden dalam membentuk hukum dipengaruhi
oleh alam pikiran bangsa Indonesia atau filsafat hidup bangsa Indonesia. Dasar
filsafat dalam pembentukkan hukum Indonesia adalah Pancasila, karenanya
Pancasila disebut Filsafat Hukum Indonesia. Bagaimana Pancasila memperoleh
legalitas hukumnya sehingga merupakan suatu kaidah yang normatif, yang
mengikat, yang mempengaruhi tingkah laku manusia Indonesia, baik sebagai
individu dalam masyarakat maupun sebagai pendapat negara yang diserahi tugas
membentuk Undang-Undang ditambah peraturan-peraturan lainnya.
Agar
Pancasila merupakan kaidah yang mengikat, maka Pancasila harus merupakan kaidah
yang mengikat. Untuk menjadi norma yang mengikat, Pancasila harus mempunyai
”Bentuk”dan ”Isi”. Bentuk Pancasila dan Isinya tercermin dalam pembukaan UUD
1945. Bentuk : Tertulis. Isinya:
1) Ketuhanan
yang Maha Esa
2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3) Persatuan
Indonesia
4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
serta
5) mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun yang berhak mengisi sila-sila
Pancasila adalah Rakyat Indonesia yang mendelegasikannya kepada sebuah badan
yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang membawakan suara dan kehendak
rakyat Indonesia. Tampaknya Pancasila masih menjadi kaidah dasar dalam tertib
hukum Indonesia.
Menurut teori tangga Hans Kelsen (Stufen Theory):
General Norms
(dibentuk oleh badan legislatif)
Teori tangga menggambarkan dasar
berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen:
Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.
2. Isi
Hukum Indonesia
Menurut isinya hukum Indonesia
dibedakan antara Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik adalah hukum yang
melindungi kepentingan Umum/Negara. Hukum Privat adalah hukum yang melindungi
kepentingan Privat/ Perorangan, Misalnya: jual beli, sewa menyewa. Hukum Privat
disebut juga Hukum Perdata dalam arti luas, mencakup:
a.
Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu ketentuan yang dimuat
dalam KUHS, Octrooi dan UU Auteur. UU Octrooi adalah UU yang melindungi hak
cipta dalam bidang industri, perdagangan. UU Auteur adalah UU yang melindungi
hak cipta dalam bidang kesenian dan kesusastraan.
b.
KUHD: Kitab UU hukum dagang. Sebagian hukum dagang masuk
dalam hukum perdata, karena semula hanya terdapat hukum perdata, kemudian
dirasakan perlu ada perbedaan antara keduanya, sehingga dampaknya terdapat
campuran dalam kedua kitab UU tersebut. Sebagian hukum dagang masuk ke dalam
kitab UU hukum perdata, sebagian hukum perdata masuk ke dalam hukum dagang.
Sesudah Indonesia merdeka terdapat 3
kodifikasi hukum, yaitu: Kitab UU Hukum Pidana, Kitab UU Hukum Perdata, Kitan
UU Hukum Dagang. Dari perkembangan selanjutnya terdapat pandangan bahwa Kitab UU Hukum Perdata mestinya
seperti semula, hukum dagang masuk ke dalam hukum perdata, karena hukum dagang
tidak ada landasan ilmunya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi adalah
membukukan hukum ke dalam kitab UU secara sistematis dan lengkap.
3. Tujuan
Hukum
Tujuan hukum adalah untuk mencapai
masyarakat yang tertib, adil dan damai, selain tujuan tersebut di Indonesia
ditambahkan pengayoman. UUD 1945 sebagai dasar, berisi instruksi-instruksi
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Ini berarti
bahwa hukum adalah alat untuk mendapatkan ketertiban dan alat untuk mencapai
kesejahteraan sosial.
filosofis-ideologis UUD 1945 adalah
untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu:
a.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
b.
Meningkatkan kesejahteraan umum;
c.
Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
4.
Kedudukan Pancasila Dalam Hukum
Nasional (pandangan Kalsen dan Nawiaski dalam bentuk piramida)
Telah
diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms . Pancasila adalah
dasar negara. Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila
cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi
ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas
dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan
menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori
Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan
rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang
tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans
Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie
von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut
adalah:
a.
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
b.
Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
c.
Undang-undang formal (formell
gesetz); dan
d.
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung)
dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara.[2]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang
oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic
norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staats fundamental norm, atau norma
fundamental negara. Grundnorm pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan
cara kudeta atau revolusi. Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu
kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan
terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.[3]
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A.
Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada
struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata
hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah:[4]
a.
Staats fundamental
norm:
Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
b.
Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD
1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
c.
Formell gesetz: Undang-Undang.
d.
Verordnung en
Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staats
fundamental norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. [5] Pancasila
dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini
mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam
Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai Staats fundamental norm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[6]
Namun, dengan penempatan Pancasila
sebagai Staats-fundamental norm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang
Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi,
karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan
dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan
pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila
dan UUD 1945.[7]
Kelsen membahas validitas norma-norma
hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada
konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat
menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga
konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis.
Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final,
di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang
merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma
mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi
inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.[8]
Semua norma hukum adalah milik satu
tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara
langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah
norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi
preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan
adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi
pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat
hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi
valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa
presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum,
khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami
secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan
konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh
Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan
staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak
berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta
atau revolusi.[9]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya
sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang
dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma
hukum biasa.[10]
Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan
validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif.
Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang
ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta
hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan
presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru
meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.[11]
Berdasarkan uraian antara pandangan
Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah
presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai
norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam
pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan
bagian dari konstitusi.
5.
Pancasila Dalam Lintasan sejarah
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam
persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno Tanggal 1 Juni
1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia.
Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung
atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[12]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada
saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain
Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara
lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam
persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang,
yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo
Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes
Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang
kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada Tanggal 10
Juli 1945.
Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan
UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun
pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini
adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai
pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang
dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.[13]
Jika masalah dasar negara disebutkan
oleh Soekarno sebagai Philosofische
grondslag ataupun Weltanschauung,
maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang
selanj utnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung
bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
6.
Pokok
Pikiran dan subtansi Penjelasan UUD 1945
Selain Pancasila, telah dikenal adanya
empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;
(1)
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan
meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta
mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan;
(2)
bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh warganya;
(3)
bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat.
Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4)
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945,
masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus
menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar.
a.
Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa
kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.
b.
Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa
Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
c.
Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan
ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada
segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga
rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
d.
Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia
mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam
rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat
inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.
Jimli Asiddiq mengatakan UUD 1945 merupakan sumber hukum
tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan
kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam
praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.[14]
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan
bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut
meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang
tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para
founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak
tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan
terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 termasuk pancasila merupakan satu kesatuan
dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain
dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah
negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status Pembukaan UUD 1945
sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD 1945 dan
pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan
menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi
dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa
Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai
konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas
pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan
pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan
pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam
pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945
dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan
UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan
ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu
tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai
bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang
dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang
lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam
menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk
Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee
dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms.
Yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi dan yang mempresuposisikan
validitas UUD 1945 adalah Proklamasi 17
Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan
merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak
sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai
berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata
hukum baru (New Legal Order). Adanya
Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar
keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara
Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah
sistem.
7.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Nomor 12 Tahun 2011
Hierarki atau tata
urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republic Indonesia (Pasal 7) adalah sebagai berikut :
a. Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3)
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)
Peraturan Pemerintah;
5)
Peraturan Presiden;
6)
Peraturan Daerah Provinsi; dan
7)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
b.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).[15]
Pengharmonisasian,
Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundangundangandi Indonesia,
sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudahberjalan atau
dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan
perundang-undangan/law maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya
perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Kebijakan mengenai harmonisasi
peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun
pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait
harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang
Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupan pengganti Inpres
Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan
Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan
amanat dari Pasal 22A UUD 19453. Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR
bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan kebijakan-kebijakan
sebelumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah
maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan
perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda
Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
[1] Hans Kelsen “Teori hukum murni-dasasr-dasar ilmu hukum
normative” terjemahan The fure of teory :Barkely University of California
press :1978 : Nusa Media,bandung,2010, hlm 1
“Teori ini di kritik oleh hari chand :konsep norma
dasar yg di kmukaka kelsen tidak jelas. Yang di sebut dengan norma dasar itu
bukan mrupakan hukum positif tapi suatu pesu posisi pengetahuan yuridis.
[2] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[3]
Piramida hukum hans kelsen dan nawiaski dalam
bentuk piramida hukum nasional Indonesia”
[4]Ibid., hlm. 359
[5] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok
Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara,
Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[6] Attamimi, Op Cit., hal.
309.
[7] “A.Amin S Attamimi
menerapkan dalam struktur tata hukum nasional indonesia”
[8] Kelsen, Hans, General
Theory of Law and State, Loc.Cit., hal 115.
[9] Attamimi, Op Cit., hal.
359.
[10] Kelsen, Hans, General
Theory, Op Cit., hal 124 – 125.
[11] Kelsen, Hans, General
Theory, Op Cit., hal 117
[12] Saafroedin Bahar, Ananda
B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[13] “Piagam Jakarta dalam
perumusan dasar Negara oleh tim 8 dalam perjalanannya setelah rumusan tersebut
di serahkan kepada BPUPKI masi terdapat beberapa pertentangan antara nasionalis
dengan agamawan”
[14] Jimly Asiddiq “ UUD 1945
adalah sumber hukum/staatfundamentalnorm
[15] “ Dalam undang
undang-undang nomor 10 Tahun 2004 Tap MPR tidak masku dalam struktur peraturan
perundangan-undangan hal itu kemudian di masukkan dalam amndemen tahun 2011 dan
sebelum tahun 2004 tap MPR masih berlaku.”
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)